Rabu, 30 Juni 2010

SEKILAS GAMBARAN SUKU BANGSA MINORITAS DAYAK

by. jalung

Pada awalnya sejarahnya suku-suku bangsa yang ada di kalimantan ini merupakan regenerasi pencampuran antara dua suku bangsa yaitu suku bagsa nengrito, suku bangsa pertama pindah dikalimantan pada masa 7000-6000 tahun SM, Dan suku bangsa Austronesia atau yang dikaenal dengan nama proto-melayu, yang hijrah dari asia tengara menetap di pulau Formosa selama seribu tahun sekitar tahun 4000 BC, kemudian ke Filipina 3000 BC, dari situ baru kebagian utara borneo 2,500 BC. Jadi kalau bicara asli dan tidak aslinya penduduk diKalimantan hal ini hanya bentuk politik pengaburan identitas. Dalam buku berjudul MOZAIK DAYAK yang tulisan Surjarni Alloy, Albertus, Chatarina Pancer Istiyani. Pada bagian ke 2. C. Perjalanan Manusia Dayak, No 2-3 yaitu Kalimantan Pada Massa Purbakala dan Imigrasi Orang Dayak di Hal 12-18, kutipan-kutipanya cukup menarik untuk mengambarkan perjalana suku-suku bangsa dikalimanan. Suku bangsa ini hidup berkelompok berdasarkan genealogid, mereka tersebar di seluruh penjuru kalimantan. Kehidupan mereka tergantung pada tanah dan kekayaan alam dikepulawan kalimantan, dan Rumah panjang merupakan potret identitas mereka hal ini terlihat dalam konsep pembagunanya, dimana bagunan ini memeiliki dua bagian utama yaitu : Pertama bagian bilik yang dimiliki secara keluarga (ayah, ibu, anak) yang berfungsi sebagai tempat atau ruangan berkumpul keluarga(ayah, ibu, anak). Kedua bagian amin (Bahasa Kayan) merupakan bagian yang terbuka, pada ruangan itu semua orang boleh berbaring dan tidur, bercengkrama satu sama lainnya serta saling berinteraksi sosial disana. Namun ruangan ini juga memiliki Fungsi yang terpenting yaitu sebagai tempat bermusawarah untuk mupakat bagi komunitas penghunu rumah panjang tesebut. Tardisi dan kebudayaan mereka masih terkait erta dengan kebudayaan-kebudayaan lisan.

Dalam tulisan S. Djuweng yang berjudul PEMBANGUNAN DAN PENINDASAN Pelajaran dari Masyarakat Dayak, Paper yang dipresentasikan dalam lokakarya United Nation Economic and Social Council (UNESCO) di Jakarta menuliskan bahwa "Dayak" adalah sebutan kolektif terhadap sekitar 405 kelompok etnolinguistik yang mendiami pulau Borneo. Mereka menamakan/dinamakan Iban, Kayan, Kenyah, Kanayatn, Maanyan, Ngajuk, Uut Danum, Bidayuh, Simpang, Pompakng, dan lain-lain. Menurut para peneliti, penamaan ini berdasarkan kesamaan Hukum Adat, Ritual Kematian dan Bahasa. Sebenyarnya penamaan sub-suku Dayak juga dapat didasarkan pada letak geografis kawasan adat mereka. Dia juga menjelaskan sedikit Menurut peryataan King (1978), Kedit (1988), dan Ukur (1992) mereka disebut Dayak karena memiliki persamaan-persamaan bentuk fisik dan unsur-unsur budaya seperti rumah panjang, persamaan-persamaan linguistik, korpus tradisi lisan, adsat istiadat dan hukum adat, struktual sosial, bentuk senjata, dan pandangan mengenai jagat raya. Hal lain yang juga serupa adalah pola hubungan relegius dengan tanah dan alam sekitar, pola pemanfaatan, pemilikan, dan ekstraksi sumber daya alam. Namun pada awalnya penulisan dan penyebutanya beragam mulai dari Daya’, Daya, Dyak, Dadjak, dan Dayaker hal ini Namun dalam perkembangannya istilah-istilah ini kemudian digugat dan di perdebatkan karena kesimpang siuranya oleh beberapa dan kemudian maknanya juga yang tidak manusiawi, hal ini lah kemudian menjadi alasan awal para elite-elite suku-suku bangsa dikalimantan melakukan pertemuan pada tahun 1992 yang diprakarsai oleh Institute of dayakology research and development (pada tahun 1998 berubah nama menjadi Institute Dayakology) yang di laksanakan dipontianak dengan nama ekspos budaya dayak, Peretemuan ini melahirkan kesepakatan bersama tentang penegasan pengunaan istilah Dayak yang mengunakan hurup K dibelakangnya, untuk mengeneralisasikan penyebutan suku-suku bangsa dipulau Kalimantan.

Selasa, 14 Oktober 2008

Sabtu, 09 Agustus 2008

Sungai-Utik, Hutan Adat Pertama Penerima Sertifikat Ekolabel

Sungai-Utik, Hutan Adat Pertama Penerima Sertifikat Ekolabel

06/08/08 06:55

Putussibau, Kalbar, (ANTARA News) - Kearifan tradisional yang selama ini dilakukan sebuah komunitas adat di Suku Dayak Iban di pedalaman Kampung Sungai Utik, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar), sehingga hutan adatnya masih terjaga dan lestari membuahkan sebuah penghargaan sertifikat ekolabel dari Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI).

"Suku Dayak Iban masih memegang teguh aturan adatnya, dan menolak tawaran investor untuk mengekploitasi hutan adatnya, sehingga hutan mereka hingga kini masih terawat baik, inilah kearifan tradisional yang kian langka, dan setelah melalui serangkaian penilaian sertifikasi pengelolaan hutan berbasis masyarakat lestari (PHBML), kita berikan sertifikat ekolabel pertama di Indonesia untuk hutan adat," kata Direktur Eksekutif LEI, Ir Taufiq Alimi di 
Putussibau, Kalbar, Rabu.

Wartawan ANTARA yang mengikuti kegiatan itu, dari Putussibau melaporkan, proses pemberian sertifikat ekolabel itu dijadwalkan akan diberikan Kamis (7/8) disaksikan oleh Menteri Kehutanan (Menhut), MS Kaban, Gubernur Kalbar, Drs Cornelis dan para pemangku kepentingan lainnya, baik dari kalangan LSM dan pemerintah daerah dan lembaga donor.

Ia menjelaskan, pada tahun 2004-2006 LEI, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Forest Watch Indonesia (FWI), dan Uni Eropa menyelenggarakan program kerjasama bersama di Kampung Sungai Utik. Program kerja itu juga melibatkan peran tiga organisasi pendampinga masyarakat yang berkantor pusat di Pontianak.

Organisasi itu adalah Lembaga Bela Banua Talino (LBBT), Pemberdayaan Pengelolaan Sumberdaya Alam Kerakyatan (PPSDAK), dan Program Pemberdayaan Sistem Hutan Kerakyatan (PPSHK), yang kemudian mempersiapkan implementasi standar Pengelolaan Hutan Lestari (PHL), yang memungkinkan bisa diperankan oleh kelompok-kelompok masyarakat tradisional.

Kemudian, pada Maret 2008 telah dilakukan serangkaian penilaian sertifikasi PHBML oleh PT Mutuagung Lestari (MAL) sebagai badan penyelenggara sertifikasi mutu di bawah akreditasi LEI, dimana penilaian sertifikasi hutan (ekolabel) yang dilakukan telah menyatakan bahwa masyarakat Kampung SUngai Utik berhasil memperoleh sertifikat pengelolaan hutan lestari.

Dikemukakannya bahwa semangat utama yang hendak disampaikan kepada publi secara nasional --bahkan internasional- -adalah bahwa di tengah maraknya eksploitasi dan konversi hutan menjadi pertambangan dan perkebunan, ternyata masih terdapat kearifan tradisional sebuah komunitas adat yang patut dijadikan teladan dalam merawat hutan.

"Penolakan untuk mengambil kayu secara besar-besaran itu didasarkan pada keyakinan bahwa adat telah mengatur bagaimana memanfaatkan kayu di hutan, dan pengambilan kayu dalam jumlah masif, ternyata bertentangan dengan hukum adat Sungai Utik, inilah hal paling mendasar yang kemudian mampu menjaga kelestarian hutan mereka," katanya.


Rumah panjang

Menurut Taufiq Alimi, ketaatan pada adat dan norma sosial komunitas Dayak Iban Sungai Utik, yang menempati kawasan hutan seluas 9.452,5 ha di Kabupaten Kapuas Hulu itu, tidak terlepas dari peran "Rumah Panjang" sebagai identitas dan pengikat solidaritas warga.

"Rumah Panjang ini besar sekali peranannya dalam mengontrol akses dan kepemilikan lahan, baik antarwarga maupun antardesa," katanya dan menambahkan saat ini di bawah pimpinan kolektif dari "Tuai Adat", kepala kampung dan temenggung serta para hulubalangnya, semua masalah berkaitan dengan kehidupan sehari-hari dapat ditangani dan diselesaikan di tingkat pertemuan "Rumah Panjang".

Sementara itu, "Pak Janggut" --yang menjadi "Tuai Adat" Suku Dayak Iban di Sungai Utik--menjelaskan, sebenarnya masyarakat adat, mulai dari nenek moyang hingga kini tertib menjaga hutan, karena hal itu sudah ada aturannya dalam adat mereka--dan hal itu dipahami sejak dari orang tua yang diturunkan kepada anak, kepada cucu dan seterusnya hingga saat ini.

"Sayur dan ikan selalu ada dan tersedia, masyarakat memiliki batas-batas daerah sesuai kesepakatan, dan (tutupan) hutan menuju ke taman nasional juga diberi tanda," kata Pak Janggut.

Perbatasan hutan adat Suku Dayak Iban Sungai Utik adalah dengan Taman Nasional Betung Karihun (TNBK), yang berada di perbatasan tiga negara, yakni Indonesia-Malaysia, dan Brunei Darussalam.

Kondisi ideal ini, kata Taufiq Alimi, tidak dimiliki kampung-kampung lain di sekitar Sungai Utik yang "tidak beruntung" dalam membangun pranata rumah panjang mereka. Kebijakan "rumah sehat" dari pemerintah diberlakukan dan wilayah hutan sudah dikapling menjadi HPH (hak pengusahaan hutan) sehingga membangun rumah panjang menjadi mustahil. 

Sekalipun beberapa mempunyai rumah panjang, tetapi terlalu kecil untuk menampung semua warga. Akibatnya mereka menjadi komunitas Iban yang tercerai berai dalam satuan rumah keluarga inti. 

Dari studi yang dilakukan oleh LEI pada tahun 2005, tawaran investor kayu dari Malaysia, yang sangat memahami masyarakat Iban di Serawak, sulit ditolak kampung-kampung di luar komunitas Dayak Iban Sungai Utik. Para peneliti LEI itu adalah Satria Astana, Wibowo Djatmiko, Semiarto Aji, Luhut Simanjuntak dan Wahyu F Riva 

Studi itu mendapati bahwa selain keuntungan dari usaha menebang dan mengolah kayu, kepada mereka juga dijanjikan untuk dibuatkan rumah panjang apabila mau melepas hutan adat untuk diambil kayunya. 

Dalam konteks persaingan dengan kampung lain, identitas kampung yang diperkuat oleh rumah adat menjadi penting. Karena itulah, orang Dayak Iban Sungai Utik membanggakan keaslian dan ketuaan rumah panjangnya, sementara kampung lain yang tidak memiliki rumah panjang, juga menyimpan harapan untuk suatu saat memilikinya dalam bentuk yang bisa dibanggakan. 

Usaha kayu menjadi harapan yang paling masuk akal, apalagi tambahan fasilitas berupa listrik dan jalan beraspal juga dijanjikan oleh investor. Ketika usaha kayu berjaya, kampung-kampung lain dapat memamerkan diri pada orang Sungai Utik bahwa mereka juga sudah mempunyai rumah panjang lengkap dengan listrik dan jalan aspal yang belum dimiliki Sungai Utik. 

Namun demikian kerusakah lingkungan seperti sungai yang berlumpur adalah harga yang harus ditebus oleh kampung lain itu. Dalam hal ini, Pak Janggut menyatakan bahwa alam dan sungai adalah nafas manusia, kalau tidak dilindungi akan berisiko terhadap masyarakat. "Air adalah darah, tanah adalah asal dan tempat kembali manusia," katanya.

Namun demikian Pak Janggut tetap khawatir mengenai perambahan hutan untuk perkebunan dan hutan tanaman. Hal ini disebabkan letak Kampung Suku Dayak Iban Sungai Utik yang berada di lintasan strategis dekat dengan perbatasan Serawak, Malaysia.

Kampung Sungai berdekatan dengan dua kampung lainnya, yaitu Kampung Mungguk dan Kampung Lauk Rugun. Kecamatan Embaloh Hulu berbatasan dengan Serawak di bagian Utara dan Barat, Kecamatan Putussibau di bagian timur, dan Kecamatan Batang Lupar di bagian selatan. Sedangkan Kabupaten Kapuas Hulu berbatasan dengan Serawak (Malaysia) di bagian Utara, Provinsi Kalimantan Timur di bagian Timur, Kabupaten Sintang di bagian Selatan dan Barat.

Selain itu kawasan hutan Sungai Utik kaya akan beragam jenis kayu. Jenis-jenis meranti dan kapur merupakan jenis dominan. Jenis kayu lainnya antara lain ladan, gerunggang (bahan pembuat sirap atap), kempas, dan jelutung. Suku Dayak memanfaatkannya untuk bahan bangunan, bahan pembuat sampan, dan kayu bakar, namun jenis-jenis kayu di kawasan hutan Sungai Utik merupakan jenis komersial yang laku dijual. 

"Masalah yang paling berat adalah menjaga agar hutan tidak hilang akibat perubahan lahan untuk HTI dan perkebunan kelapa sawit," kata Pak Janggut dalam studi LEI saat ditanyakan permasalahan yang dihadapi oleh komunitas Sungai Utik berkaitan dengan keberlanjutannya. 

Karena itu upaya-upaya untuk menjaga keberlanjutan komunitas Dayak Iban Sungai Utik terus dilanjutkan dengan proses sertifikasi ekolabel, dan lulus penilaian sertifikasi pengelolaan hutan lestari oleh PT MAL pada bulan Mei 2008.

"Masyarakat ingin pengakuan yang tertulis supaya didengar oleh orang luar, ada dokumen-dokumennya. Sertifikasi merupakan titik penting yang bermanfaat bagi masyarakat. Sertifikasi `Sui Utik` (Sungai Utik) diharapkan bisa menjadi contoh bagi daerah lain. Masyarakat harus bisa mengikuti arus perubahan dunia," katanya.(*)

Sertifikasi hutan adat, harapan baru bagi pengelolaan hutan lestari di Indonesia

Sertifikasi hutan adat, harapan baru bagi pengelolaan hutan lestari di Indonesia

Bogor, 7 Agustus 2008. Hari ini sebuah komunitas masyarakat adat di Kalimantan Barat menerima pengukuhan pengakuan atas upaya dan perjuangannya dalam mengelola hutan adat. Pengakuan itu diwujudkan dalam sebuah Sertifikat Ekolabel Pengelolaan Hutan Lestari yang diberikan oleh Lembaga Ekolabel Indonesia. Penyerahan Sertifikat Ekolabel akan dilakukan dengan upacara adat yang dirangkaikan dengan Upacara Adat Gawai di Rumah Panjae Sungai Utik. Sebuah pengakuan yang membawa harapan baru bagi praktik pengelolaan hutan yang bijak, disela laju kehilangan hutan Indonesia yang semakin tak terbendung.

Masyarakat Iban Menua Sungai Utik merupakan bagian dari komunitas adat di Kalimantan Barat, tepatnya di Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu. Wilayah hukum adat Iban Menua Sungai Utik seluas kurang lebih 9,5 ribu hektare merupakan hulu DAS Kapuas dan berbatasan langsung dengan daerah penyangga Taman Nasional Betung Kerihun di sebelah utara. 

Seperti juga wilayah hutan lain di Indonesia, luas hutan di Kalimantan Barat semakin berkurang akibat tekanan dari praktik pengelolaan hutan yang eksploitatif sehingga terjadi perubahan fungsi hutan yang signifikan. Juru bicara Forest Watch Indonesia (FWI), Markus Ratriyono mengatakan, "Luas hutan alam yang bisa dikatakan berkondisi baik di Kalimantan Barat terus menyusut hingga 1,9 juta hektare sampai saat ini. "Kehilangan hutan alam banyak disumbang oleh praktik pengelolaan hutan yang mengabaikan prinsip kelestarian. Sayangnya, perusahaan-perusahaan tersebut justru memperoleh ijin konsesi yang sah dari pemerintah, baik itu konsesi HPH, HTI Perkebunan maupun Pertambangan. Dan ini menjadi ancaman keberadaan hutan alam yang berada di dalam wilayah adat" tambahnya. 

Hasil pemantauan FWI, hingga saat ini masih terjadi tumpang tindih lahan antara wilayah adat Iban Menua Sungai Utik dengan kawasan hutan yang hak pengelolaannya diberikan pemerintah kepada perusahaan HPH sampai tahun 2038. 
Menanggapi kondisi ini, Markus menyatakan, "Pemerintah harus mulai melakukan kaji ulang atas seluruh ijin konsesi yang sudah maupun akan diberikan kepada perusahaan dan mengembalikan hak pengelolaan kepada komunitas adat yang terbukti melakukan pengelolaan hutan adatnya secara lestari."

Jauh sebelum masuknya perusahaan HPH hingga mendapatkan sertifikat ekolabel, masyarakat adat Iban Menua Sungai Utik telah melakukan pengelolaan hutan adatnya secara lestari berdasarkan hukum adat yang sudah berlaku ratusan tahun. "Tanah dan air tidak memiliki benih, sehingga kami harus jaga untuk generasi mendatang", kata Apai Janggut, Kepala Rumah Panjae Sungai Utik. "Sesudah hutan adat kami mendapatkan sertifikasi ekolabel, kami akan tetap mengelola hutan kami secara lestari, karena hutan merupakan kehidupan kami, dan biarlah masyarakat adat yang lain mengikuti langkah kami", Apai Janggut menambahkan.

FWI, sebagai lembaga independen pemantau hutan di Indonesia, menyambut baik pemberian sertifikat ekolabel ini kepada komunitas masyarakat adat. FWI memandang bahwa secara umum kriteria dan indikator penilaian (Aspek Ekologi, Sosial dan Produksi) atas pengelolaan hutan adat Iban Menua Sungai Utik memenuhi syarat ideal untuk memperoleh sertifikat ekolabel, meskipun secara bertahap masih harus dilakukan perbaikan kelembagaan dalam unit manajemennya.

Sertifikat Ekolabel bagi pengelolaan hutan oleh komunitas masyarakat adat merupakan upaya nyata di tingkat tapak untuk mempertahankan hutan alam yang tersisa. "Bagi FWI, pemberian sertifikat ini merupakan hal yang membanggakan dan harus dijadikan contoh solusi untuk mencegah berlanjutnya penghancuran hutan di Indonesia", imbuh Markus dengan yakin. 

Catatan editor:
1. Forest Watch Indonesia merupakan jaringan pemantau hutan independen yang terdiri dari individu-individu dan organisasi-organisasi yang memiliki komitmen untuk mewujudkan proses pengelolaan data dan informasi kehutanan di Indonesia yang terbuka sehingga dapat menjamin pengelolaan sumberdaya hutan yang adil dan berkelanjutan. Salah satu fokus kegiatan FWI adalah mempromosikan bentuk-bentuk pengelolaan hutan yang lestari di Indonesia. 
2. Laju kerusakan hutan selama periode 1985 – 1997 sekitar 1,7 juta ha per tahun (WB, 2000), dan meningkat tajam menjadi 2,83 juta ha per tahun dalam kurun waktu 1997-2000 (Dephut, 2005). Buku State of the World's Forests FAO tahun 2007 mengatakan laju kerusakan hutan di Indonesia telah mencapai 1,87 juta ha periode 2000 – 2005. Forest Watch Indonesia, dalam periode 1989 – 2003 menyatakan laju kerusakan hutan mencapai 1,99 juta ha per tahun, dan 39,2% kehilangan hutan terjadi di Pulau Kalimantan (FWI, 2008).
3. PHBML adalah pengelolaan hutan berbasis masyarakat lestari dan merupakan salah satu skema sertifikasi ekolabel yang dikembangkan oleh Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI).
4. Wilayah adat Iban Menua Sungai Utik dibagi menjadi 4 (empat) fungsi kawasan, yaitu: Kampong Taroh (Kawasan Hutan Keramat), Kampong Galao (Kawasan Hutan Cadangan/Lindung), Kampong Embor Kerja (Kawasan Hutan Produksi) dan Kawasan Pemanfaatan (Kawasan Budidaya Gilir Balik). 
5. Analisis yang dilakukan FWI menggunakan peta partisipatif wilayah adat Iban Menua Sungai Utik dengan peta IUPHHK HPH, mengindikasikan terjadinya tumpang tindih lahan seluas 3.083,80 ha (33% total wilayah adat).

Informasi lebih lanjut, kontak:
Markus Ratriyono:
Forest Watch Indonesia, 
HP: +62 816103468,
email: anakperi@fwi.or.id

Sekretariat Forest Watch Indonesia: 
Jalan Sempur Kaler No.26 Bogor, 
Telp: +62 251 8323664, Fax: +62 251 8317926, 
email: fwibogor@fwi.or.id; fwi@indo.net.id
website www.fwi.or.id

Senin, 30 Juni 2008

Aksi Bersama AMAN KB dan STSD Kab Sambas

Penolakan PT SAM(sawit) di Sambas

Penolakan PT BMH(HTI) di sambas

Minggu, 29 Juni 2008

Barisan dan Atraksi Dalam Massa Aksi di Sambas

Jalan dari DPRD sambas
Menuju Kantor Bupati

Atraksi didepan kantor bupati sambas

barisan paling belakang saat
meyeberang jembatan sambas

Senin, 09 Juni 2008

PERNYATAAN SIKAP

PERNYATAAN SIKAP
FORUM PERIMAKNG HUTAN TANAH AE’K

Menyikapi Permasalahan kerusakan lingkungan, perampasan hak-hak masyarakat adat dan dampak sosial di wilayah Kabupaten Ketapang akibat pengembangan pembangunan perkebunan Kelapa sawit, pertambangan dan illegal logging, maka kami Masyarakat Adat Se-Kabupaten Ketapang yang tergabung dalam Forum Perimakng Hutan-Tanah-Ae’k Kabupaten Ketapang Menyatakan Sikap:
1. Pemerintah Daerah Kabupaten Ketapang harus menghentikan ekspansi perkebunan kelapa sawit dan segala jenis pertambangan di wilayah kelola masyarakat adat di Kabupaten Ketapang.
2. Pemerintah Daerah Kabupaten Ketapang harus menghentikan pemberian ijin baru dan mencabut semua ijin perkebunan dan segala jenis pertambangan yang beroperasi di wilayah Kabupaten Ketapang.
3. Pemerintah Daerah Kabupaten Ketapang harus menyelesaikan semua konflik yang terjadi akibat program pengembangan perkebunan kelapa sawit dan pertambangan secara adil dan bijaksana.
4. Pemerintah Daerah Kabupaten Ketapang harus menyelesaikan secara tuntas kasus illegal logging dan illegal mining di wilayah Kabupaten Ketapang.
5. Pemerintah Daerah Kabupaten Ketapang harus mencabut Perda No. 15/2006 tentang Rencana Tata Ruang Kabupaten Ketapang.
6. Pemerintah Daerah Kabupaten Ketapang harus membuat kebijakan yang berpihak kepada kepentingan Masyarakat Adat.

Demikian Surat Pernyataan Sikap ini kami sampaikan, untuk dapat diperhatikan dan dilaksanakan.

DITANDA-TANGANI DI : Ketapang
PADA TANGGAL : 5 Juni 2008

aksi Hari Lingkungan Hidup



Massa Datangi Kantor Bupati dan Parlemen
Tolak EkspansiPerkebunan Sawit , Tuntut Pengembangan Kebun Karet

Ketapang,- Setelah menyampaikan aspirasi di depan Dinas Perkebunan Kabupaten Ketapang, massa Forum Perimakng Hutan Tanah A’ek (FPHTA) yang melakukan aksi damai memperingati Hari Lingkungan Hidup se-Dunia (5/6), kemudian melanjutkan long march ke Kantor Bupati Ketapang. Mereka sampai ditempat ini sekitar pukul 09.30 WIB.

Kedatangan mereka itu dikawal puluhan anggota Polres Ketapan dan Sat Pol PP. Ratusan massa yang datang membawa poster dan spanduk, bahkan bibit karet. Yel-yel perjuangan mereka nyanyian. Aspirasi mereka suarakan melalui megaphone. Bendera merah putih yang dibawa dikibar-kibarkan, poster dan famplet diperlihatkan berikut spanduk yang menyuarakan “Stop Perusakan Hutan”.

Dari koordinator lapangan aksi damai itu, mereka menyebutkan kedatangan mereka sebagai masyarakat ingin bertemu dengan Bupati dan Wakil Bupati, untuk menghadapi penyampaian aspirasi mereka itu.

Tampil sebagai penyampai aspirasi ketika itu adalah Aloysius Sujarni Sekjen AMA Kalbar. “Saya tak akan bicara kalau tak ada yang menghadapi. Kami datang dengan damai, tidak dengan anarkis, kami ingin bicara dengan bupati,” kata Drs Sujarni Alloy MA, Sekjend AMA Kalbar.

Dalam orasinya di depan tangga Kantor Bupati Ketapang, dia menyebutkan masyarakat adat adalah korban kebijakan. Tak sedikit tanah adat tergusur, kuburan tergusur akibat ekspansi perkebunan. Keinginan pengembangan perkebunan karet juga disuarakan di tempat ini. Mereka menyebutkan masyarakat sudah sejahtera dengan karet.

Sehubungan Bupati dan Wakil Bupati Ketapang tak berada di tempat, dialog tersebut dihadiri Sekda Ketapang Drs H Bachtiar. Di depan sekda, mereka menyampaikan kondisi kerusakan lingkungan yang terjadi di Marau, Tumbang Titi dan lain sebagainya. Setelah menyampaikan uneg-unegnya, mereka menginginkan sekda atas nama Pemkab Ketapang menandatangani komitment untuk menindaklanjuti tuntutan mereka. Karena menyangkut kebijakan, maka Bachtiar menerangkan yang berwenang dalam kebijakan politis adalah bupati dan wakil bupati. “Sekda adalah jabatan pegawai negeri sipil. Sekda hanya membantu penyelenggaraan pemerintahan,” terang Bachtiar.

Tak lama setelah tatap muka dengan sekda di halaman kantor bupati, mereka kemudian long march ke DPRD Ketapang. Sampai di tempat ini sekitar jam 11.00 WIB.

Tak lama setelah menyampaikan orasi di depan halaman kantor DPRD Ketapang, kemudian mereka dialog di ruang utama DPRD. Dialog itu dipimpin Ketua DPRD Ketapang H.Kadarisman Bersah, dan Wakil Ketua Yohanes Suparjiman, serta beberapa anggota Dewan.

Selain pernyataan sikap, berbagai kondisi di lapangan dibeberapa kecamatan juga mereka paparkan dari perwakilan masyarakat yang hadir. Baik perkebunan, pertambangan, maupun illegal logging mereka suarakan saat itu. Bagaimana kondisi di Simpang Hulu, Simpang Dua, Nanga Tayap, Tumbang Titi, Marau, Air Upas dan lain diungkapkan dalam pertemuan itu. Dialog sempat diwarnai debat.

Pertemuan itu berlangsung sampai pukul 13.30 WIB. Akhirnya dari pertemuan tersebut, ketua DPRD Kadarisman Bersah menyampaikan dari pertemuan terbatas, DPRD tetap komitment untuk menindaklanjuti aspirasi masyarakat. (ndi)

Jumat, 6 Juni 2008, di kutip dari Pontianak Post

Aksi hari Lingkungan Hidup Di Ketapang


dari kamera Panitia

aksi hari lingkungan hidup di ketapang


dari kamera Saudara Tatang

Selasa, 03 Juni 2008