Senin, 17 Maret 2008

SECERCAH ASA DI PADANG PENJAMURAN SIAGAN

SECERCAH ASA DI PADANG PENJAMURAN SIAGAN
Reportase: Frans Lakon
Sumber Dari Kalimantan Review

Kedatangan kolonialisme Eropa pada era dulu sangat erat kaitannya dengan kapitalisme, yakni suatu sistem ekonomi yang dikelola oleh sekelompok kecil pemilik modal dengan tujuan pokoknya adalah memaksimalisasi keuntungan. Upaya yang dilakukan kaum kapitalis pun tidak segan-segan mengeksploitasi sumber daya alam maupun sumber daya manusia secara besar-besaran untuk kepentingannya. Melalui kolonialisme, para kapitalis Eropa memeras tenaga dan kekayaan alam rakyat negeri-negeri terjajah demi keuntungan mereka. Di Afrika dan Asia (termasuk Indonesia), kapitalisme telah mendorong terjadinya apa yang sebut sebagai exploitation de l'homme par l'homme atau eksploitasi manusia oleh manusia lain. Praktek-praktek penindasan, penghisapan dan pemiskinan zaman dulu tetap berlangsung sampai saat ini, bahkan sudah menjelma menjadi kekuatan besar dengan agenda utama menguasai dunia.
Lingkup yang paling kecil, seperti di beberapa daerah Kabupaten Ketapang, praktek tersebut sudah berlangsung lama, dimana pengejawantahan kapitalisme secara represif terjadi sejak tahun 1993 sampai sekarang dengan wujud perusahaan-perusahaan seperti; Hutan Tanaman Industri (HTI), perkebunan Kelapa Sawit dan Pertambangan.
Salah satunya, realitas terjadi di Desa Riam Batu Gading tepatnya di Kampung Riam Kusik, Kecamatan Marau pertengahan tahun lalu. Perusahaan tambang Batu Galena (Bahan tambang logam berat atau Timbal berbentuk sulfida logam dengan kandungan timah hitam dan seng yang sangat tinggi. Dalam dunia industri dikenal sebagai bahan pembuatan battery, pembungkus kabel, zat pewarna cat, penyepuhan serta campuran pestisida) yang di sponsori PT. Lanang Bersatu (PT. LB) masuk melakukan survei lokasi atau yang mereka sebut sebagai tahap eksploratif.
Ketika KR berkesempatan mengikuti proses sosialisasi yang terbuka bagi seluruh masyarakat, para Damong Adat dan tokoh-tokoh masyarakat Kampung Riam Kusik, Penyiuran dan Batu Perak pada tanggal 10 Maret 2006 yang lalu, melihat ada indikasi bahwa PT. LB merupakan sebuah perusahaan milik putra orang pertama di Kabupaten Ketapang, sehingga dalam proses legalisasinya diperbantukan kelancarannya. Hal ini terlihat dari antusiasme para jajaran struktural kepemerintahan seperti Muspika Marau (Camat, Sekwilcam, Denramil dan Kapolsek), Kepala Desa Sukakarya, Kepala Desa Riam Batu Gading, Kepala Dusun dan BPD Riam Kusik, hadir dalam proses sosialisasi perusahaan untuk menegaskan bentuk dukungannya.
“Saya berharap PT. LB segera beroperasi karena sudah memiliki izin lokasi seluas 6.779 hektar yang meliputi wilayah Kampung Riam Kusik, Penyiuran, Batu Perak dan sampai ke Karangan. Untuk itu, maka mari kita dukung perusahaan ini menggali kekayaan alam yang kita miliki berupa batu galena untuk kesejahteraan kita semua”, papar Julian selaku Camat Marau pada waktu itu.
Hal senada juga disampaikan oleh Kades Sukakarya dan Riam Batu Gading yang menyatakan sangat mendukung dan mengharapkan keseriusan PT. LB agar segera beroperasi untuk menggali potensi sumber daya alam berupa batu galena untuk membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Sementara PT. LB, dalam sosialisasinya menjelaskan bahwa kehadiran mereka merupakan jawaban untuk kesejahteraan kehidupan ekonomi masyarakat lokal.
“Dengan kehadiran PT. LB yang beroperasi di Kampung Riam Kusik karena memiliki defosit tambang batu galena yang sangat besar, maka peluang masyarakat untuk maju dan berkembang semakin terbuka karena masyarakat akan memiliki lapangan pekerjaan dan penghasilan yang memadai kedepan”, Jelas Supardi selaku Manejer lapangan.
Dalam proses sosialisasi tersebut, hampir sebagian besar suara masyarakat yang hadir memilih pasrah atas kehadiran PT. LB menggarap wilayah adat masyarakat terutama di Kampung Riam Kusik. Meski ada sedikit masyarakat yang kontra terhadap masuknya perusahaan, terkesan tidak berani dan memilih diam dari pada menentang.


Kasus penganiayaan fisik
Sejak Agustus 2006 lalu, PT LB mulai melakukan proses pembebasan lahan di lokasi Semerayak, Kampung Riam Kusik seluas 50.000 m3 dengan ganti rugi sebesar Rp. 20.000.000,- kepada beberapa orang pemilik lahan yang mendukung perusahaan. Setelah aktif beroperasi, beberapa bulan kemudian muncul reaksi protes masyarakat terhadap perlakuan perusahaan yang hanya menghargai murah Batu Galena hanya sebesar Rp. 150,- kepada masyarakat lokal pekerja tambang. Meski “menyalak”, masyarakat tidak berani menuntut kenaikan harga batu galena kepada perusahaan.
Atas reaksi yang muncul dari masyarakat tersebut, Daman sebagai bagian dari masyarakat lokal yang empati atas keluhan masyarakat banyak, mengajak beberapa kawannya untuk mendatangi pihak perusahaan dengan tujuan menuntut kenaikan harga batu Galena. Menjelang malam (14/10/06), mereka datang dan di sambut oleh Manejer Lapangan PT. LB yakni Supardi. Hasil dari pertemuan itu, pihak perusahaan berjanji akan meninjau ulang ketentuan harga batu galina tersebut. Pada akhirnya sekarang, harga batu galena cuma di naikkan menjadi sebesar Rp. 200, tidak begitu besar.
Setelah selesai mengemban tanggung jawab sosialnya, mereka keluar dari kantor PT. LB. Namun naas setelah berada di luar rumah, Daman di hadang oleh dua orang kemudian di pukul. Dua orang yang memukul tersebut ternyata diketahui sebagai kaki tangannya pihak perusahaan yang juga adalah masyarakat lokal. Sampai sekarang, Daman mengalami pembengkakan tulang rusuk dan sudah diupayakan berobat ke beberapa Rumah Sakit namun tidak kunjung sembuh. Sampai saat ini, Daman masih dalam proses penyembuhan dengan menggunakan terapi obat tradisional.
“Kasus ini sudah di laporkan ke pihak Kepolisian Sektor Marau, dan pelaku pemukulan minta diselesaikan melalui jalur damai dengan syarat bersedia bertanggung jawab membiayai seluruh biaya perobatan saya. Namun, selama ini baru diserahkan Rp. 1.000.000,- saja, dan itupun hanya mencukupi biaya transportasi pergi berobat ke Ketapang saja. Seluruh biaya pengobatan saya masih terutang. Sekarang, kasus ini belum ada titik terangnya dan yang sangat disesali bahkan pihak PT. LB, Kades Riam Batu Gading, Kadus Riam Kusik seolah-olah tidak mau tahu atas persoalan ini”, Keluh Daman (45) kesal.
Perjuangan Daman menyuarakan kepentingan masyarakat adalah sesuatu yang sangat mulia, karena rakyat berhak memperoleh dan menikmati hak-haknya. Ironis, ketika perjuangan yang dilakukan itu harus berhadapan pada pertentangan di dalam masyarakat sendiri. Ada apa di balik kasus itu, apakah ada hal yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhinya. “Sebelum perusahaan masuk, kehidupan sosial masyarakat di kampung Riam Kusik berjalan aman, damai dan tentram tanpa adanya intrik, konflik dan kehidupan yang kompetitif antar sesama masyarakat. Sekarang kondisinya sudah jauh berbeda, antar sesamanya sendiri sudah saling mencakar, berlomba-lomba menjual tanahnya ke perusahaan. Ini pertanda bahwa hutan, tanah dan air yang menjadi identitas dan sumber kehidupan yang di warisi nenek moyang mulai diabaikan dan terancam sirna”, lanjut Daman.
Di tengah euforia sebagian besar masyarakat Riam Kusik dengan PT. LB, pertengahan Desember tahun lalu, ancaman akan hancurnya eksistensi hutan, tanah, air semakin merajalela. PT. Borneo Katulistiwa Sawit juga masuk di wilayah Kampung Riam Kusik dan membuat lokasi pembibitan. Aparat kampung mulai dari Kades, Kadus, sampai ke Temenggung menjadi penyangga utama pendukung bahkan menggerakkan agar perusahaan sukses menanamkan investasinya. Fenomena ini bukan hanya akan menjadi “awan kelabu” bagi masyarakat Kampung Riam Kusik saja kelak, namun kampung-kampung lain yang berbatasan langsung seperti Kampung Tanjung, Putaran, Jemayas, Penyiuran, Batu Perak, Karangan juga akan terancam terkena dampak dari kehancuran lingkungan akibat perusahaan bila tidak memiliki ketegasan sikap dan usaha perlawanan yang berarti.

Batu Perak Berdikari
Kampung yang berbatasan langsung dengan Kampung Riam Kusik dan berpenduduk 613 jiwa orang yang mayoritas bersub-suku Dayak Kendawangan ini ternyata memiliki sebuah setrategi jitu dalam rangka mempertahankan dan memperkuat kedaulatannya sebagai masyarakat adat. Oleh karena itu, sebagian besar masyarakatnya menyatakan menolak keras perusahaan apapun baik itu perusahaan perkebunan kelapa sawit maupun pertambangan yang ingin masuk mengambil dan merampas tanah rakyat.
Upaya-upaya dalam rangka mempertahankan kedaulatan wilayah adat menjadi agenda utama yang harus dilakukan, sehingga pembentukan Kelompok Petani Karet (KPK) merupakan sebuah dampak dari kesadaran masyarakat Batu Perak yang mayoritas pekerjaan utamannya adalah petani karet alam. KPK dibentuk bertujuan agar masyarakatnya memiliki wadah bersama dalam memperjuangkan masa depannya dan mempertahankan keutuhan wilayah adat dari ekspansi perusahaan. Saat ini sudah ada 12 KPK dengan jumlah anggota bervariatif terus bekerjasama mengelola dan memanfaatkan kawasan padang ilalang bekas kebakaran hutan yang selama ini ter (di) lupakan dan menjadi idaman para investor.
Daftar KPK Kampung Batu Perak
NO KELOMPOK ANGGOTA KETUA LOKASI LAHAN
1 I 8 Nawen Dukuh Sangkuh
2 II 8 Anus Sungai Jelamuq
3 III 6 Karun Tong Sungai Sambuq
4 IV 6 Suran Bukit Petalihan
5 V 14 Abun Arai Merah
6 VI 10 Nanto Ciandong
7 VII 8 Plaun Pejangkar
8 VIII 7 Lajan Mambang
9 IX 6 Jay Sungai Putih
10 X 6 Sita Tong Sungai Kapul
11 XI 7 Sinan Dahas Kekuraq
12 XII 10 Rikan Padang Penjamuran

Selain menggiat KPK, melalui Kepala Dusun Kalistus Arsahul beserta sebagian besar masyarakatnya juga merancang dan telah memiliki Dana Kemandirian Kampung yang di simpan di Kaangkimat CU Gemalaq Kemisiq sebesar Rp. 795.000,- sebagai asset bersama seluruh masyarakat Kampung Batu Perak.
Dalam perkembangan selanjutnya, upaya-upaya yang sudah dilakukan bersama ternyata belum bisa menjamin kebersamaan itu sudah terwujud, melainkan masih banyak celah yang dianggap potensial menjadi titik kelemahan sehingga harus segera diatasi secara bersama-sama pula. Untuk meretas cita-cita bersama itu, masyarakat mencoba merefleksikan bersama tentang kemana arah dan tujuan Kampung Batu Perak ini kedepan. Akhirnya pada tanggal 12 Desember 2006 yang lalu, masyarakat mengadakan pertemuan kampung dan menghasilkan rumusan bersama berupa kesepakatan Rencana Kerja Kampung (RKK) yang akan dilaksanakan oleh seluruh masyarakat.
Ada 6 pokok aktivitas RKK Batu Perak yang akan dilaksanakan:
1. Mengumpulkan Dana Kemandirian Kampung Batu Perak sebesar Rp. 1000,-/KK/bulan.
2. Mengembalikan otoritas Kedamongan melalui pertemuan rutin (setiap 3 bulan) para Damong Adat.
3. Mengumpulkan data dan fakta tentang perusakan lingkungan yang dilakukan oleh PT. Lanang Bersatu.
4. Mengajarkan Muatan Lokal di Sekolah Dasar.
5. Melakukan penyadaran bagi seluruh lapisan masyarakat agar menjadi anggota CU.
6. Meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam wadah Kelompok Petani Karet.
“Harapannya kedepan, jika RKK ini dilaksanakan secara kompak oleh seluruh masyarakat, mudah-mudahan Kampung Batu Perak mampu berdikari dalam mempertahankan kedaulatannya sebagai masyarakat adat yang memiliki identitas diri dari eksistensi Hutan, Tanah, dan Air”, ungkap Sumarna (24) bersemangat.

Menegakkan hukum adat
Kejadiannya berawal dari Arsahul (Kadus Batu Perak) yang diberi uang sebesar Rp. 3.100.000,- oleh F. Jaron (Kades Riam Batu Gading). Melihat adanya kejanggalan, Arsahul kemudian memberitahu dan meminta masyarakat menelusuri ada apa dibalik pembagian uang tersebut. Setelah ditelusuri, ternyata tanah di Padang Penjamuran Siagan yang diakui masyarakat sebagai tanah keramat telah di jual secara diam-diam oleh Subur (masyarakat setempat) bekerjasama dengan Kades sebagai pemberi rekomendasi kepada PT. LB untuk membelinya seharga Rp. 14.400.000,-.
Setelah diketahuinya kepastian tersebut dari Subur sebagai pelaku penjualan tanah keramat, lantas membuat masyarakat berang. Padahal sebelumnya sudah diingatkan kepada PT. LB dan kesepakatan bersama seluruh masyarakat Kampung Batu Perak, bahwa tanah keramat itu tidak untuk di perjualbelikan. Atas persoalan itu, maka pada tanggal 12 Desember 2006 menjelang sore, sebagian besar masyarakat berkumpul dan melakukan demontrasi ke Riam Kusik menuju kediaman Kades dan PT. LB. Demontrasi yang di kawal polisi ini berlangsung dari jam 16.00 sampai 02.00 dan berjalan dengan damai dan tertib. “Kami hanya meminta penjelasan langsung dari Kades Riam Batu Gading dan PT. LB perihal penjualan tanah keramat dan menuntut agar tanah keramat Padang Penjamuran Siagan segera di kembalikan kepada masyarakat Kampung Batu Perak sebagai pemilik asli, karena tanah keramat tersebut memiliki nilai dan sejarah yang tidak dapat di perjual belikan”, Tegas Sutirman.
Melalui negosiasi panjang, akhirnya tuntutan masyarakat pun dipenuhi pihak perusahaan. Setelah adanya keputusan, kemudian masyarakat berangsur-angsur membubarkan diri dan pulang ke rumah masing-masing. Namun keesokan harinya, masyarakat masih merasa belum puas atas keputusan itu. Sehingga masyarakat mengadakan musyawarah bersama lagi dalam menyikapi persoalan yang terjadi. Hasil musyawarah itu, menyepakati bahwa aturan adat harus ditegakkan. Siapa pun yang melanggar aturan adat Kampung Batu Perak harus berhadapan dengan hukum adat. Maka pada tanggal 14 Desember 2006 lalu, masyarakat melalui otoritas Temenggung Simbun menghukum adat PT. LB, Kades Riam Batu Gading dan Subur.
“Untuk PT. LB, karena melanggar adat Curuq tunggul langkah batang, langkah laluq aman Damong, lawang tanggaq dan Benuaq laman (tidak meminta izin kepada para Damong dan seluruh masyarakat kampung) maka dikenakan sanksi hukum adat sebesar 2 lasaq (2 tajau). Untuk Kades, karena melanggar adat Lambung lampat langkah laluq (tidak meminta izin kepada damong dan seluruh masyarakat perihal penjualan tanah keramat Kampung Batu Perak justru memberi rekomendasi kepada perusahaan), maka dikenakan sanksi hukum adat sebesar 3 lasaq (3 tajau). Sedangkan Subur, karena melanggar adat menjual tanah keramat dan mau di peralat, maka dikenakan sanksi hukum adat sebesar 1 lasaq (1 tajau)”, Tegas Simbun (60) selaku Temenggung adat.
“Selain hukum adat yang diberikan kepada pihak-pihak yang bersalah, kemudian di luar konteks hukum adat, masyarakat juga mendenda PT. LB sebesar Rp. 7.000.000,- sebagai kompensasi atas dampak lingkungan (limbah tambang) yang mencemari sungai Selambak dan Sungai Mirah di Kampung Batu Perak. Dari uang denda ini, melalui kesepakatan bersama maka sebesar Rp. 2.350.000,- akan menambah dana kemandirian kampung yang sudah tersimpan di rekening Kaangkimat CU GK. Sekarang Kampung Batu Perak sudah mempunyai dana kemandirian kampung sebesar Rp. 3.145.000,- dan akan terus bertambah. Kemudian dari sisa uang denda itu digunakan untuk membeli lokasi pemakamam umum, Tetawak (alat kesenian), dan di simpan di kas kampung untuk kebutuhan tak terduka”, ungkap Arsahul (45) selaku Kadus Batu Perak.
Tak lama setelah terjadinya kasus itu, perusahaan PT. LB tiba-tiba merealisasi permintaan masyarakat yang sebelumnya mengajukan fasilitas air bersih sebagai ganti rugi atas tercemarnya Sungai Selambak dan Sungai Mirah yang selama ini menjadi sumber air bersih bagi masyarakat. Meski sudah lama diajukan, sekarang sudah disediakan fasilitas 5 buah sumur bor lengkap dengan mesin penyedot dan tong tempat penampung air.
Arsahul menegaskan “Dengan kasus ini seharusnya menjadi pembelajaran berarti bagi pihak investor dan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab supaya tidak seenaknya menjual, mengambil, dan merampas hak-hak rakyat. Ditegakkannya hukum adat, pertanda rakyat masih hidup dengan identitas dan memiliki harga diri yang patut juga dihargai. Hukum adat dengan kasus seperti ini adalah baru pertama kali dilakukan di Kampung Batu Perak dan ini akan menjadi kisah sejarah bagi masyarakat Batu Perak sendiri sampai ke generasi-generasi selanjutnya”, ujarnya.
Seperti yang di ungkapkan Presiden Sukarno dulu “Jas Merah” jangan sekali-kali melupakan sejarah, karena sejarah telah menjadi jawaban atas kebuntuan rakyat. Hukum adat adalah sejarah yang hanya dimiliki masyarakat adat dan masih hidup sampai saat ini. Dengan “senjata” hukum adat, maka jangan sekali-kali membiarkan orang luar berpandangan rendah terhadap masyarakat adat, karena masyarakat adat merupakan kelompok yang sekarang ini lemah dan terampas hak-haknya, tetapi yang nantinya, ketika di gerakkan dalam gelora revolusi akan mampu mengubah dunia. Itu bukan mustahil terjadi, jika kita yakin dan percaya bahwa kekuatan itu berada di tangan rakyat akar rumput 

0 komentar: