Jumat, 21 Maret 2008

KEBUDAYAAN MENGGUGAT

KEBUDAYAAN MENGGUGAT
frans lakon banamang*

Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri (Cultural-Determinism). Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Kemudian menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan dan keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, serta segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat. Edward B. Tylor menambahkan juga bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Sedangkan Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, menyatakan bahwa kebudayaan merupakan sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Dari definisi-definisi tersebut, maka dapat diartikan bahwa kebudayaan merupakan sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam
Perkembangan globalisasi yang begitu masif dewasa ini merupakan salah satu sistem gagasan kebudayaan yang dikembangkan oleh manusia untuk melangsungkan kehidupannya. Globalisasi adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antar-bangsa dan antar-manusia di seluruh dunia melalui kegiatan perdagangan, investasi, transportasi, kebudayaan, dan bentuk-bentuk interaksi lain sehingga berimplikasi pada biasnya batasan hubungan antar negara.
Ada yang memandangnya hal ini sebagai proses sosial, sejarah dan proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia ini semakin terikat satu sama yang lainnya, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan co-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat. Bahkan mitos yang berkembang selama ini tentang globalisasi adalah proses yang akan membentuk dunia menjadi seragam, menghapus identitas kebudayaan lokal atau etnis yang akan ditelan oleh kekuatan budaya besar atau kekuatan budaya global yakni budaya imperialis. Di sisi lain, globalisasi merupakan sebuah proyek yang diusung oleh negara-negara adikuasa, sehingga kapitalisme menjadi bentuknya yang paling mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil semakin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing dan menjadi objek eksploitasi dari kepentingan-kepentingan kapitalis. Penetrasi globalisasi di bidang ekonomi dewasa ini sangat gencar diterapkan sehingga negara-negara di seluruh dunia menjadi satu kekuatan pasar yang semakin terintegrasi tanpa rintangan batas teritorial negara. Ada beberapa ciri yang menandakan semakin berkembangnya fenomena globalisasi di dunia sampai hari ini:
1. Perubahan konsep ruang dan waktu yang ditandai oleh lajunya perkembangan media komunikasi dan transportasi seperti; telepon genggam (handphone), televisi satelit dan internet. Hal ini menunjukkan bahwa komunikasi global terjadi demikian pesatnya, sementara melalui pergerakan massa semacam turisme memungkinkan kita merasakan banyak hal dari budaya yang berbeda.
2. Relasi pasar dan produksi ekonomi di negara-negara yang berbeda menjadi saling bergantung sebagai akibat dari pertumbuhan perdagangan internasional yang bebas, peningkatan pengaruh perusahaan multinasional dan dominasi organisasi semacam World Trade Organization (WTO).
3. Peningkatan interaksi kultural melalui perkembangan media massa (terutama televisi, film, musik dan transmisi berita dan olah raga internasional). Saat ini, kita dapat mengonsumsi dan mengalami gagasan dan pengalaman baru mengenai hal-hal yang melintasi beraneka ragam budaya, misalnya dalam bidang fashion, literatur, makanan dan berbagai macam produk-produk kapitalis yang menawarkan “kenyamanan” sehingga menghilangkan karakter kebudayaan masyarakat misalnya; melemahnya daya kreatifitas masyarakat dunia.
4. Meningkatnya masalah kolektif, misalnya; degradasi lingkungan hidup (ancaman global warming, pengembangan perkebunan dan pertambangan, illegal logging, illegal swiming) yang ditandai dengan sering terjadinya bencana alam, krisis multinasional, inflasi regional dan lain sebagainya.
Kennedy dan Cohen menyimpulkan bahwa transformasi ini telah membawa kita pada globalisme dimana sebuah kesadaran dan pemahaman baru tentang dunia adalah satu. Hal ini juga sudah disinyalir oleh Marshall Mcluhan bahwa dunia akan menjadi suatu desa raksasa (global village) dimana seperti situasi umumnya di desa, segala peristiwa yang terjadi dalam suatu keluarga di masyarakat akan menjadi kepedulian (emosional) dari warga masyarakat desa itu sendiri.
Sebenarnya kita sebagai masyarakat dunia sadar telah turut ambil bagian dalam proses perubahan dunia tanpa terkendali yang ditandai dengan pemaksaan pola hidup yang konsumtif (konsumerisme), perubahan dan ketidakpastian. Globalisasi cenderung berpengaruh besar terhadap perkembangan masyarakat dunia disegala bidang kehidupan. Salah satu wujud globalisasi yang berkembang saat ini adalah terjadinya lompatan besar kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama di bidang komunikasi dan transportasi sehingga yang terjadi adalah dunia terasa menjadi satu.
Tidak ada satu pun berita dari salah satu sudut dunia manapun yang tidak dapat di tangkap atau diketahui oleh khalayak dari berbagai penjuru dunia. Peristiwa yang terjadi di suatu tempat akan melibatkan masyarakat dunia secara emosional berkat kemampuan jangkau pandang manusia yang semakin luas melalui media.

Senin, 17 Maret 2008

Pernyataan Bersama

Pernyataan Bersama

1. Aliansi Masyarakat Adat Rejang Tapus Pat Petulai (AMARTA)
2. POKJA PSDA Lebong
3. AKAR Foundation

Pada Peringatan Hari Ulang Tahun ke-9 Aliansi Masyarakat Adat Nusantata (AMAN)

Masyarakat Adat merupakan unsur terbesar pembentuk Negara Bangsa (Nation State) yang memiliki Potensi sumber daya alam yang melimpah ini adalah warisan leluhur sebagai modal dasar bagi kehidupan masyarakat adat dalam mempertahankan kehidupannya secara berkesinambungan namun ironisnya masyarakat adat semakin terpingirkan akibat nyata dari proses implementasi berbagai kebijakan negara.

Kebijakan-kebijakan sektoral, UU No 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa adalah awal dari proses memarjinalisasikan hak-hak masyarakat adat, UU NO 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang seyogjanya memberikan peluang yang lebih besar bagi komunitas lokal untuk lebih eksis dalam mempertahankan hak dasar adat, kenyataannya hanya merupakan ekspektasi kekuasaan dari Pemerintahan Pusat kepada Pemerintahan di Daerah yang secara langsung lebih membatasi ruang dan gerak bagi komunitas-komunitas adat dalam mewujudkan demokratisasi pengelolaan wilayah adanya secara berkelanjutan.

Konteroversi tata batas wilayah adat (Tenurial Geneologis) dengan wilayah konservasi, dan beberapa peruntukan lahan yang izinya di keluarkan oleh Pemerintah merupakan sebuah gambaran adanya koptasi wilayah adat oleh Negara. Kondisi ini semakin mempersempit ruang kelola Masyarakat Adat yang pada akhirnya secara paktual menghilangkan identitas dan integritas komunitas adat sebagai satu persekutuan masyarakat yang pada dasarnya telah terbukti mampu mengelola wilayahnya secara berkelanjutan.

Marjinalisasi peran dan fungsi yang di miliki oleh masyarakat adat tidak hanya di lakukan oleh Pemerintah secara fisiologis melalui kewilayahan adat, akan tetapi juga dilakukan melalui penghancuran secara terstruktur melalui sistem dan tata aturan kelembagaan adat.

Berdasarkan beberapa kondisi sebagai mana tersebut di atas maka Adat Aliansi Masyarakat Adat Rejang Tapus Pat Petulai (AMARTA) yang merupakan refresentatif komunitas adat Rejang, AKAR Foundation dan Kelompok Kerja Pengelolaan Sumber Daya Alam (POKJA PSDA) Lebong menyatakan sikap;

1. Harus adanya kejelasan sikap Pemerintah atas ruang kelola Masyarakat Adat Jurukalang, Bermani, Selupu Lebong, Marga Suku IX dan Marga Suku VIII yang terkoptasi dalam beberapa kawasan konservasi di Kabupaten Lebong.

2. Harus adanya kejelasan sikap Pemerintah atas ruang kelola dan ruang publik Masyarakat Adat dalam penentuan kebijakan kawasan konservasi di Kabupaten Lebong

3. Harus adanya ketegasan Pemerintah dalam menyelesaikan kontroversi tata batas wilayah Administratif Kabupaten Lebong dengan Bengkulu Utara yang mengkoptasi wilayah adat Selupu Lebong dan Marga Suku IX

4. Harus adanya Kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Rejang Lebong bagi masyarakat adat Suku Lembak untuk terlibat secara masif dalam proses-proses pembangunan di wilayah Kabupaten Rejang Lebong

5. Harus adanya ketegasan Pemerintahan Daerah Kabupaten Kabupaten Rejang Lebong atas persoalan di wilayah Eks Hak Guna Usaha (HGU) PT BMS dalam menghentikan pengusuran lahan-lahan masyarakat adat Suku Tengah Kepungut atas nama Pembangunan.

6. Harus adanya pengakuan dari Pemerintah Kabupaten Bengkulu Utara dan Pemerintahan Propinsi Bengkulu atas eksistensi masyarakat Enggano dengan wilayah adatnya dalam segenap proses Pembangunan Pulau Enggano

7. Harus adanya langkah-langkah kongkrit dari Pemerintahan Kabupaten Kepahiang dalam mengatasi deforestasi di wilayah adat Bermani Ilir

Pernyataan sikap politik ini kami sampai kepada para pihak kepentingan sebagai sikap kelembagaan Aliansi Masyarakat Adat Rejang Tapus Pat Petulai, AKAR Foundation dan Pokja PSDA dalam memperjuangkan hak-hak komunitas adat yang menjadi anggotanya.

Tapus, 16 Maret 2008

Ketua AMARTA: Henderi SB

Bebasnya Dua Pejuang MA Nyayat

Bebasnya Dua Pejuang MA Nyayat
Damianus Siyok
Meski Dihukum Penjara, mereka mengaku tidak berhenti berjuang demi kehormatan dan martabat Masyarakat Adat


Singkawang, KR
Malam 16 Agustus 2002, Leobertus tak bisa tidur. Ia bolak-balik di balik terali besi Lembaga Permasyarakatan (LP) Tingkat II Singkawang. “Saya ingin malam segera berlalu dan berganti pagi,” katanya. Ia hanya tidur beberapa jam dan bangun pagi sekali. Ia tak sabar menanti datangnya esok hari.

Subuh masih dingin namun Leo, demikian panggilan akrabnya segera mandi. Pukul 10 esok paginya, saat langit kota Singkawang bersinar putih cerah. Dengan kemeja kuning polos dan celana panjang berwarna gelap, Leobertus melangkahkan kakinya keluar dari LP

Dengan menjinjing kantong plastik yang berisi dua botol aqua berisi anak ikan ia melangkah mantap ke luar penjara. “Semalaman saya nggak bisa tidur. Rasa-rasanya ingin memperpendek malam, agar bisa melihat pagi cepat-cepat bisa keluar. Namun saya juga sedih meninggalkan kawan-kawan di tahanan. Malamnya saya bikin acara perpisahan sama mereka. Soalnya di sana hidup kami seperti bersaudara,” paparnya kepada KR membuka cerita.

Leobertus satu diantara tiga orang penduduk Kampung Nyayat yang dipenajra karena memperjuangan hak-haknya. Dua temannya yang lain yakni Manjud dan Adul masih berada di dalam penjara. Leo dibebaskan lebih dahulu, kemudian menyusul Adul pada tanggal 1 November 2002.

Ketiganya dituduh merusak asset perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Ranawastu Kencana (RWK) yang beroperasi menggunakan warga Bekati di Dusun Nyayat, Desa Meribas, Kecamatan Tebas, Kabupaten Sambas.

Manjut dituduh membakar lahan sawit pada tanggal 20 Mei 2000 di Kampung Nyayat.Lalu oleh tim Majelis Hakim yang diketuai Nelson Sianturi, SH dan divonis 2 tahun penjara. Sementara Leobertus Adul dituduh membakar Base Camp di Devisi III pada hari Senin (15/11/2001) sekitar jam 08.00 WIBA.

“Padahal yang melakukan itu adalah massa. Tidak semestinya dilimpahkan kepada dua orang saja,” protes Sulistiono, sesudah pembacaan vonis di Pengadilan Negeri Singkawang pada Hari Senin (20/5/2002) Protes yang sama juga diberikan Gusti Maulana, salah seorang pengacara mereka.

Lalu keduanya divonis penjara oleh hakim Ketua Subaryanto, SH hakim anggota, L. Barutu, SH dan Wiryati, SH masing-masing satu tahun penjara, yang dipotong masa tahanan. Leobertus Masuk ke tahan Polres 16 November 2001, dua bulan kemudian dipindahkan sebagai tahanan Lembaga Permasyarakatan. Sementara Adul masuk ke tahanan Polres setengah bulan kemudian. Di Polres Adul mendekam sekitar 1,5 bulan, dan kemudian dipindahkan Lembaga Permasyarakatan.

Berangkat dari terbakarnya Base Camp RWK itu Jaksa Penuntut Umum (JPU), Juli Isnur, SH pada intinya ingin menjeratkan pasal 187 ayat 1 KUHP dan pasal 180 ayat 1 KUHP. Kedua pasal ini berkaitan dengan perusakan barang milik orang lain ditempat umum.

Masuknya Leobertus ke penjara berawal dari penangkapan dirinya oleh 60-an Brimob dari Singkawang pada Hari Jum`at (16/11/2001). Waktu itu dia masih di ladang, lalu sekitar 14.00 WIBA datang 3 buah mobil he-line bak terbuka, dari sana keluar orang-orang berseragam coklat, bersenjata laras panjang dan membawa gas air mata. Setengah jam kemudian Leobertus diseret ke dalam mobil mereka lalu di bawa ke Singkawang.

“Saya dipukul berkali-kali waktu penangkapan, bahu kanan saya dipukul sama gagang senapan Brimob, dan sampai di tahanan Polres masih juga disiksa. Sampai sekarang masih terasa sakitnya, apalagi kalau batuk atau bersin,” katanya kepada KR sambil memegang ulu hatinya yang sakit.

Sewaktu di penjara, pahit dan manisnya hidup dijalananinya. Diantara 158 penghuni LP Kelas II itu Leobertus setiap hari mendapat jatah sebagai pengurus dapur tahanan. Adul menjadi penebas rumput dan Manjut sebagai penanam sayur, dan kemudian bekerja sebagai penebas rumput. “Selain itu Pak Manjud juga rajin menganyam jala. Dia punya 5 orang anak buah dari napi yang digajinya untuk membuat jala. Hasilnya mereka jual,” papar Leobertus.

“Sementara saya bersama 6 orang kawan-kawan menyiapkan makanan buat Napi. Dua kali seminggu kami makan daging sapi, dua hari yang lainnya makan telur. Hari-hari di luar itu makan sayur, misalnya kangkung,” katanya membuka cerita.

Di sana mereka makan nasi dua kali sehari. Sedangkan pagi-paginya makan nasi yang dicampur dengan ubi. Tidak jarang segelas kopi dibagi bersembilan, atau sebatang rokok dihisap berlima.

“Prilaku yang menyakitkan ketika kita dihina. Misalnya kita disebut babi oleh orang sini. Lalu untuk mencari keadilan ibaratnya mengail. Barang siapa punya banyak umpan, dialah yang akan cepat mendapat keadilan,” cerita Manjud.

Leobertus keluar sebulan lebih cepat dari waktu yang ditetapkan hakim, dikarenakan pada tanggal 17 Agustus 2002 kemarin dia mendapat remisi (pemotongan masa penjara-red) dari Lembaga Permasyarakatan. Selain Leobertus Adul dan Manjut juga mendapat remisi. Adul satu bulan, sehingga dia boleh pulang pada tanggal 1 November 2002, sedangkan Manjut mendapat 2 bulan, sehingga paada 23 Mei 2002 nanti dia boleh pulang.

“Saya bangga masuk penjara, sebab saya melakukukan ini demi orang kampung dan harga diri saya. Sekarang saya senang karena sudah keluar. Pokok saya tetap berjuang demi kampung saya.” katanya bertekad.

PERINGATAN HARI MASYARAKAT ADAT SE-DUNIA

PERINGATAN HARI MASYARAKAT ADAT SE-DUNIA
DI KAL-BAR MELAHIRKAN KESEDIHAN MENDALAM
Oleh : Jalung
Bulan Agustus tepatnya Tanggal 9 melalui Konsensi Perserikatan Bangsa-Bangsa ditetapkan Sebagai Hari Masyarakat Adat Se–Dunia. Hal ini membawa beberapa elemen organisasi pemuda pro-demokrasi dan pemuda masyarakat adat melakukan konsolidasi ulang gerakan melalui beberapa rentetan kegiatan yang di mulai dari pertama pada 7 - 8 agustus 2007 yaitu membagun “Perkampungan Demokrasi” di bundaran Univesitas Tanjungpura pontianak dan “Mobil Demokrasi” yang diarak keliling kota pontianak dengan berisikan orasi-orasi serta yel-yel yang mengabarkan kondisi buruk rakyat dan masyarakat adat saat ini, kemudian di tutup pada tangal 9 agustus 2007 tepatnya hari masyarakat adat se-dunia beberapa elemen pemuda kalimantan barat berarung rembuk dalam kuliah umum dengan tema “Peranan Pemuda Dalam Mengatasi Masalah Ekonomi, Politik, Sosial dan Budaya” serta Pentas Kesenian dan Budaya Rakyat dengan tema ”Keragaman Kebudayaan Yang Menjadi Identitas Kebudayaan Nasional” dalam kegiatan kuliah umum ini bertujuan mengajak pemuda dari beberapa elemen berpikir ulang sejarah penindasan masyarakat adat yang mana saat ini cita – cita kemerdekaan dan kedaulatan yang tertuang dalam konsensi PBB belumlah bisa terwujud sepenuhnya. Hal ini diakibatkan oleh sebuah sistem yang menekankan pada penghisapan, penindasan, perluasan dan pemusatan modal yang dilakukan oleh segelintir orang diatas mayoritas umat manusia. Sejak awal perkembangangannya, sistem ini telah mencapai pada tingkatan tertingginya yakni imperialisme dengan berbagai produk dan prakteknya. Praktek imperilisme hari ini terhadap Masyarakat Adat dengan melakukan perampasan Tanah dan kekayan alam masyarakat adat hanya untuk kepentingan pertambangan, perkebunan skala besar dan lain sebagainya yang dilakukan oleh perusahaan – perusahaan besar dengan perlakukan yang sangat istimewa dari pemerintah melalui berbagai produk kebijakannya. Dampaknya sangat luar biasa bagi masyarakat adat, dimana identitas adat dan budaya sebagai cerminan bagi masyarakat adat mulai hilang dan hancur oleh praktek itu semua.
Kegiatan ini dihadiri oleh beberapa organisasi yang meliputi : BEM Untan, ESA Untan, BEM STAIN, LPM,GMNI, HMI, PMKRI, PMII, Solmadapar, JMKB, Salak, ID, Kalimantan Review, LBBT, SHK, Gemawan, WALHI, Madanika, Elpagar, POR, PPSDAK, KAIL, KMKS, PEK-PK, Asrama Sanggau, Asrama Landak, Asrama Sambas dan AMAN KalBar serta undangan terbuka bagi Pemuda-Pemudi yang peduli dengan nasib bangsa. Kegiatan kuliah umum ini diharapkan melahirkan beberapa-beberapa tanggapan serta pandangan terkait mengatasi masalah ekonomi, sosial, politik dan budaya diantara elemen pemuda, yang mana menjadi peranan terdepan dalam sejarahnya, agar dapat menjadi rekomendasi langkah gerakan perjuangan masyarakat adat dalam mewujudkan kemerdekaan dan kedaulatan namun dilematis sekali bertepatan pada saat itu juga sekitar pukul 13.00-an kita mendapat kabar menyedihkan dan tragis dimana beberapa lembaga yang tergabung dalam konsorsium pancur kasih yaitu Institut Dayakologi (ID), Lembaga Bela Banua Talino (LBBT), Segerak PK, Kalimantan Review, dan Percetakan Mitra kasih hangus dilahap sijago merah hanya dalam waktu +/- 30 menit. Mereka ini merupakan bagian dari lembaga yang intens menyuarakan masyarakat adat melalui penelitian serta kajian-kajian hukum tentang masyarakat adat serta dipublikasikan melalui media pemberdayaan Kalimantan Review (KR) kalbar selama 20 tahun semua itu raib. Hal ini mengakibatkan kegiatan hari masyarakat adat ditunda dan diakhiri dengan melahirkan sebuah rekomendasi duka cita yang mendalam.

SECERCAH ASA DI PADANG PENJAMURAN SIAGAN

SECERCAH ASA DI PADANG PENJAMURAN SIAGAN
Reportase: Frans Lakon
Sumber Dari Kalimantan Review

Kedatangan kolonialisme Eropa pada era dulu sangat erat kaitannya dengan kapitalisme, yakni suatu sistem ekonomi yang dikelola oleh sekelompok kecil pemilik modal dengan tujuan pokoknya adalah memaksimalisasi keuntungan. Upaya yang dilakukan kaum kapitalis pun tidak segan-segan mengeksploitasi sumber daya alam maupun sumber daya manusia secara besar-besaran untuk kepentingannya. Melalui kolonialisme, para kapitalis Eropa memeras tenaga dan kekayaan alam rakyat negeri-negeri terjajah demi keuntungan mereka. Di Afrika dan Asia (termasuk Indonesia), kapitalisme telah mendorong terjadinya apa yang sebut sebagai exploitation de l'homme par l'homme atau eksploitasi manusia oleh manusia lain. Praktek-praktek penindasan, penghisapan dan pemiskinan zaman dulu tetap berlangsung sampai saat ini, bahkan sudah menjelma menjadi kekuatan besar dengan agenda utama menguasai dunia.
Lingkup yang paling kecil, seperti di beberapa daerah Kabupaten Ketapang, praktek tersebut sudah berlangsung lama, dimana pengejawantahan kapitalisme secara represif terjadi sejak tahun 1993 sampai sekarang dengan wujud perusahaan-perusahaan seperti; Hutan Tanaman Industri (HTI), perkebunan Kelapa Sawit dan Pertambangan.
Salah satunya, realitas terjadi di Desa Riam Batu Gading tepatnya di Kampung Riam Kusik, Kecamatan Marau pertengahan tahun lalu. Perusahaan tambang Batu Galena (Bahan tambang logam berat atau Timbal berbentuk sulfida logam dengan kandungan timah hitam dan seng yang sangat tinggi. Dalam dunia industri dikenal sebagai bahan pembuatan battery, pembungkus kabel, zat pewarna cat, penyepuhan serta campuran pestisida) yang di sponsori PT. Lanang Bersatu (PT. LB) masuk melakukan survei lokasi atau yang mereka sebut sebagai tahap eksploratif.
Ketika KR berkesempatan mengikuti proses sosialisasi yang terbuka bagi seluruh masyarakat, para Damong Adat dan tokoh-tokoh masyarakat Kampung Riam Kusik, Penyiuran dan Batu Perak pada tanggal 10 Maret 2006 yang lalu, melihat ada indikasi bahwa PT. LB merupakan sebuah perusahaan milik putra orang pertama di Kabupaten Ketapang, sehingga dalam proses legalisasinya diperbantukan kelancarannya. Hal ini terlihat dari antusiasme para jajaran struktural kepemerintahan seperti Muspika Marau (Camat, Sekwilcam, Denramil dan Kapolsek), Kepala Desa Sukakarya, Kepala Desa Riam Batu Gading, Kepala Dusun dan BPD Riam Kusik, hadir dalam proses sosialisasi perusahaan untuk menegaskan bentuk dukungannya.
“Saya berharap PT. LB segera beroperasi karena sudah memiliki izin lokasi seluas 6.779 hektar yang meliputi wilayah Kampung Riam Kusik, Penyiuran, Batu Perak dan sampai ke Karangan. Untuk itu, maka mari kita dukung perusahaan ini menggali kekayaan alam yang kita miliki berupa batu galena untuk kesejahteraan kita semua”, papar Julian selaku Camat Marau pada waktu itu.
Hal senada juga disampaikan oleh Kades Sukakarya dan Riam Batu Gading yang menyatakan sangat mendukung dan mengharapkan keseriusan PT. LB agar segera beroperasi untuk menggali potensi sumber daya alam berupa batu galena untuk membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Sementara PT. LB, dalam sosialisasinya menjelaskan bahwa kehadiran mereka merupakan jawaban untuk kesejahteraan kehidupan ekonomi masyarakat lokal.
“Dengan kehadiran PT. LB yang beroperasi di Kampung Riam Kusik karena memiliki defosit tambang batu galena yang sangat besar, maka peluang masyarakat untuk maju dan berkembang semakin terbuka karena masyarakat akan memiliki lapangan pekerjaan dan penghasilan yang memadai kedepan”, Jelas Supardi selaku Manejer lapangan.
Dalam proses sosialisasi tersebut, hampir sebagian besar suara masyarakat yang hadir memilih pasrah atas kehadiran PT. LB menggarap wilayah adat masyarakat terutama di Kampung Riam Kusik. Meski ada sedikit masyarakat yang kontra terhadap masuknya perusahaan, terkesan tidak berani dan memilih diam dari pada menentang.


Kasus penganiayaan fisik
Sejak Agustus 2006 lalu, PT LB mulai melakukan proses pembebasan lahan di lokasi Semerayak, Kampung Riam Kusik seluas 50.000 m3 dengan ganti rugi sebesar Rp. 20.000.000,- kepada beberapa orang pemilik lahan yang mendukung perusahaan. Setelah aktif beroperasi, beberapa bulan kemudian muncul reaksi protes masyarakat terhadap perlakuan perusahaan yang hanya menghargai murah Batu Galena hanya sebesar Rp. 150,- kepada masyarakat lokal pekerja tambang. Meski “menyalak”, masyarakat tidak berani menuntut kenaikan harga batu galena kepada perusahaan.
Atas reaksi yang muncul dari masyarakat tersebut, Daman sebagai bagian dari masyarakat lokal yang empati atas keluhan masyarakat banyak, mengajak beberapa kawannya untuk mendatangi pihak perusahaan dengan tujuan menuntut kenaikan harga batu Galena. Menjelang malam (14/10/06), mereka datang dan di sambut oleh Manejer Lapangan PT. LB yakni Supardi. Hasil dari pertemuan itu, pihak perusahaan berjanji akan meninjau ulang ketentuan harga batu galina tersebut. Pada akhirnya sekarang, harga batu galena cuma di naikkan menjadi sebesar Rp. 200, tidak begitu besar.
Setelah selesai mengemban tanggung jawab sosialnya, mereka keluar dari kantor PT. LB. Namun naas setelah berada di luar rumah, Daman di hadang oleh dua orang kemudian di pukul. Dua orang yang memukul tersebut ternyata diketahui sebagai kaki tangannya pihak perusahaan yang juga adalah masyarakat lokal. Sampai sekarang, Daman mengalami pembengkakan tulang rusuk dan sudah diupayakan berobat ke beberapa Rumah Sakit namun tidak kunjung sembuh. Sampai saat ini, Daman masih dalam proses penyembuhan dengan menggunakan terapi obat tradisional.
“Kasus ini sudah di laporkan ke pihak Kepolisian Sektor Marau, dan pelaku pemukulan minta diselesaikan melalui jalur damai dengan syarat bersedia bertanggung jawab membiayai seluruh biaya perobatan saya. Namun, selama ini baru diserahkan Rp. 1.000.000,- saja, dan itupun hanya mencukupi biaya transportasi pergi berobat ke Ketapang saja. Seluruh biaya pengobatan saya masih terutang. Sekarang, kasus ini belum ada titik terangnya dan yang sangat disesali bahkan pihak PT. LB, Kades Riam Batu Gading, Kadus Riam Kusik seolah-olah tidak mau tahu atas persoalan ini”, Keluh Daman (45) kesal.
Perjuangan Daman menyuarakan kepentingan masyarakat adalah sesuatu yang sangat mulia, karena rakyat berhak memperoleh dan menikmati hak-haknya. Ironis, ketika perjuangan yang dilakukan itu harus berhadapan pada pertentangan di dalam masyarakat sendiri. Ada apa di balik kasus itu, apakah ada hal yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhinya. “Sebelum perusahaan masuk, kehidupan sosial masyarakat di kampung Riam Kusik berjalan aman, damai dan tentram tanpa adanya intrik, konflik dan kehidupan yang kompetitif antar sesama masyarakat. Sekarang kondisinya sudah jauh berbeda, antar sesamanya sendiri sudah saling mencakar, berlomba-lomba menjual tanahnya ke perusahaan. Ini pertanda bahwa hutan, tanah dan air yang menjadi identitas dan sumber kehidupan yang di warisi nenek moyang mulai diabaikan dan terancam sirna”, lanjut Daman.
Di tengah euforia sebagian besar masyarakat Riam Kusik dengan PT. LB, pertengahan Desember tahun lalu, ancaman akan hancurnya eksistensi hutan, tanah, air semakin merajalela. PT. Borneo Katulistiwa Sawit juga masuk di wilayah Kampung Riam Kusik dan membuat lokasi pembibitan. Aparat kampung mulai dari Kades, Kadus, sampai ke Temenggung menjadi penyangga utama pendukung bahkan menggerakkan agar perusahaan sukses menanamkan investasinya. Fenomena ini bukan hanya akan menjadi “awan kelabu” bagi masyarakat Kampung Riam Kusik saja kelak, namun kampung-kampung lain yang berbatasan langsung seperti Kampung Tanjung, Putaran, Jemayas, Penyiuran, Batu Perak, Karangan juga akan terancam terkena dampak dari kehancuran lingkungan akibat perusahaan bila tidak memiliki ketegasan sikap dan usaha perlawanan yang berarti.

Batu Perak Berdikari
Kampung yang berbatasan langsung dengan Kampung Riam Kusik dan berpenduduk 613 jiwa orang yang mayoritas bersub-suku Dayak Kendawangan ini ternyata memiliki sebuah setrategi jitu dalam rangka mempertahankan dan memperkuat kedaulatannya sebagai masyarakat adat. Oleh karena itu, sebagian besar masyarakatnya menyatakan menolak keras perusahaan apapun baik itu perusahaan perkebunan kelapa sawit maupun pertambangan yang ingin masuk mengambil dan merampas tanah rakyat.
Upaya-upaya dalam rangka mempertahankan kedaulatan wilayah adat menjadi agenda utama yang harus dilakukan, sehingga pembentukan Kelompok Petani Karet (KPK) merupakan sebuah dampak dari kesadaran masyarakat Batu Perak yang mayoritas pekerjaan utamannya adalah petani karet alam. KPK dibentuk bertujuan agar masyarakatnya memiliki wadah bersama dalam memperjuangkan masa depannya dan mempertahankan keutuhan wilayah adat dari ekspansi perusahaan. Saat ini sudah ada 12 KPK dengan jumlah anggota bervariatif terus bekerjasama mengelola dan memanfaatkan kawasan padang ilalang bekas kebakaran hutan yang selama ini ter (di) lupakan dan menjadi idaman para investor.
Daftar KPK Kampung Batu Perak
NO KELOMPOK ANGGOTA KETUA LOKASI LAHAN
1 I 8 Nawen Dukuh Sangkuh
2 II 8 Anus Sungai Jelamuq
3 III 6 Karun Tong Sungai Sambuq
4 IV 6 Suran Bukit Petalihan
5 V 14 Abun Arai Merah
6 VI 10 Nanto Ciandong
7 VII 8 Plaun Pejangkar
8 VIII 7 Lajan Mambang
9 IX 6 Jay Sungai Putih
10 X 6 Sita Tong Sungai Kapul
11 XI 7 Sinan Dahas Kekuraq
12 XII 10 Rikan Padang Penjamuran

Selain menggiat KPK, melalui Kepala Dusun Kalistus Arsahul beserta sebagian besar masyarakatnya juga merancang dan telah memiliki Dana Kemandirian Kampung yang di simpan di Kaangkimat CU Gemalaq Kemisiq sebesar Rp. 795.000,- sebagai asset bersama seluruh masyarakat Kampung Batu Perak.
Dalam perkembangan selanjutnya, upaya-upaya yang sudah dilakukan bersama ternyata belum bisa menjamin kebersamaan itu sudah terwujud, melainkan masih banyak celah yang dianggap potensial menjadi titik kelemahan sehingga harus segera diatasi secara bersama-sama pula. Untuk meretas cita-cita bersama itu, masyarakat mencoba merefleksikan bersama tentang kemana arah dan tujuan Kampung Batu Perak ini kedepan. Akhirnya pada tanggal 12 Desember 2006 yang lalu, masyarakat mengadakan pertemuan kampung dan menghasilkan rumusan bersama berupa kesepakatan Rencana Kerja Kampung (RKK) yang akan dilaksanakan oleh seluruh masyarakat.
Ada 6 pokok aktivitas RKK Batu Perak yang akan dilaksanakan:
1. Mengumpulkan Dana Kemandirian Kampung Batu Perak sebesar Rp. 1000,-/KK/bulan.
2. Mengembalikan otoritas Kedamongan melalui pertemuan rutin (setiap 3 bulan) para Damong Adat.
3. Mengumpulkan data dan fakta tentang perusakan lingkungan yang dilakukan oleh PT. Lanang Bersatu.
4. Mengajarkan Muatan Lokal di Sekolah Dasar.
5. Melakukan penyadaran bagi seluruh lapisan masyarakat agar menjadi anggota CU.
6. Meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam wadah Kelompok Petani Karet.
“Harapannya kedepan, jika RKK ini dilaksanakan secara kompak oleh seluruh masyarakat, mudah-mudahan Kampung Batu Perak mampu berdikari dalam mempertahankan kedaulatannya sebagai masyarakat adat yang memiliki identitas diri dari eksistensi Hutan, Tanah, dan Air”, ungkap Sumarna (24) bersemangat.

Menegakkan hukum adat
Kejadiannya berawal dari Arsahul (Kadus Batu Perak) yang diberi uang sebesar Rp. 3.100.000,- oleh F. Jaron (Kades Riam Batu Gading). Melihat adanya kejanggalan, Arsahul kemudian memberitahu dan meminta masyarakat menelusuri ada apa dibalik pembagian uang tersebut. Setelah ditelusuri, ternyata tanah di Padang Penjamuran Siagan yang diakui masyarakat sebagai tanah keramat telah di jual secara diam-diam oleh Subur (masyarakat setempat) bekerjasama dengan Kades sebagai pemberi rekomendasi kepada PT. LB untuk membelinya seharga Rp. 14.400.000,-.
Setelah diketahuinya kepastian tersebut dari Subur sebagai pelaku penjualan tanah keramat, lantas membuat masyarakat berang. Padahal sebelumnya sudah diingatkan kepada PT. LB dan kesepakatan bersama seluruh masyarakat Kampung Batu Perak, bahwa tanah keramat itu tidak untuk di perjualbelikan. Atas persoalan itu, maka pada tanggal 12 Desember 2006 menjelang sore, sebagian besar masyarakat berkumpul dan melakukan demontrasi ke Riam Kusik menuju kediaman Kades dan PT. LB. Demontrasi yang di kawal polisi ini berlangsung dari jam 16.00 sampai 02.00 dan berjalan dengan damai dan tertib. “Kami hanya meminta penjelasan langsung dari Kades Riam Batu Gading dan PT. LB perihal penjualan tanah keramat dan menuntut agar tanah keramat Padang Penjamuran Siagan segera di kembalikan kepada masyarakat Kampung Batu Perak sebagai pemilik asli, karena tanah keramat tersebut memiliki nilai dan sejarah yang tidak dapat di perjual belikan”, Tegas Sutirman.
Melalui negosiasi panjang, akhirnya tuntutan masyarakat pun dipenuhi pihak perusahaan. Setelah adanya keputusan, kemudian masyarakat berangsur-angsur membubarkan diri dan pulang ke rumah masing-masing. Namun keesokan harinya, masyarakat masih merasa belum puas atas keputusan itu. Sehingga masyarakat mengadakan musyawarah bersama lagi dalam menyikapi persoalan yang terjadi. Hasil musyawarah itu, menyepakati bahwa aturan adat harus ditegakkan. Siapa pun yang melanggar aturan adat Kampung Batu Perak harus berhadapan dengan hukum adat. Maka pada tanggal 14 Desember 2006 lalu, masyarakat melalui otoritas Temenggung Simbun menghukum adat PT. LB, Kades Riam Batu Gading dan Subur.
“Untuk PT. LB, karena melanggar adat Curuq tunggul langkah batang, langkah laluq aman Damong, lawang tanggaq dan Benuaq laman (tidak meminta izin kepada para Damong dan seluruh masyarakat kampung) maka dikenakan sanksi hukum adat sebesar 2 lasaq (2 tajau). Untuk Kades, karena melanggar adat Lambung lampat langkah laluq (tidak meminta izin kepada damong dan seluruh masyarakat perihal penjualan tanah keramat Kampung Batu Perak justru memberi rekomendasi kepada perusahaan), maka dikenakan sanksi hukum adat sebesar 3 lasaq (3 tajau). Sedangkan Subur, karena melanggar adat menjual tanah keramat dan mau di peralat, maka dikenakan sanksi hukum adat sebesar 1 lasaq (1 tajau)”, Tegas Simbun (60) selaku Temenggung adat.
“Selain hukum adat yang diberikan kepada pihak-pihak yang bersalah, kemudian di luar konteks hukum adat, masyarakat juga mendenda PT. LB sebesar Rp. 7.000.000,- sebagai kompensasi atas dampak lingkungan (limbah tambang) yang mencemari sungai Selambak dan Sungai Mirah di Kampung Batu Perak. Dari uang denda ini, melalui kesepakatan bersama maka sebesar Rp. 2.350.000,- akan menambah dana kemandirian kampung yang sudah tersimpan di rekening Kaangkimat CU GK. Sekarang Kampung Batu Perak sudah mempunyai dana kemandirian kampung sebesar Rp. 3.145.000,- dan akan terus bertambah. Kemudian dari sisa uang denda itu digunakan untuk membeli lokasi pemakamam umum, Tetawak (alat kesenian), dan di simpan di kas kampung untuk kebutuhan tak terduka”, ungkap Arsahul (45) selaku Kadus Batu Perak.
Tak lama setelah terjadinya kasus itu, perusahaan PT. LB tiba-tiba merealisasi permintaan masyarakat yang sebelumnya mengajukan fasilitas air bersih sebagai ganti rugi atas tercemarnya Sungai Selambak dan Sungai Mirah yang selama ini menjadi sumber air bersih bagi masyarakat. Meski sudah lama diajukan, sekarang sudah disediakan fasilitas 5 buah sumur bor lengkap dengan mesin penyedot dan tong tempat penampung air.
Arsahul menegaskan “Dengan kasus ini seharusnya menjadi pembelajaran berarti bagi pihak investor dan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab supaya tidak seenaknya menjual, mengambil, dan merampas hak-hak rakyat. Ditegakkannya hukum adat, pertanda rakyat masih hidup dengan identitas dan memiliki harga diri yang patut juga dihargai. Hukum adat dengan kasus seperti ini adalah baru pertama kali dilakukan di Kampung Batu Perak dan ini akan menjadi kisah sejarah bagi masyarakat Batu Perak sendiri sampai ke generasi-generasi selanjutnya”, ujarnya.
Seperti yang di ungkapkan Presiden Sukarno dulu “Jas Merah” jangan sekali-kali melupakan sejarah, karena sejarah telah menjadi jawaban atas kebuntuan rakyat. Hukum adat adalah sejarah yang hanya dimiliki masyarakat adat dan masih hidup sampai saat ini. Dengan “senjata” hukum adat, maka jangan sekali-kali membiarkan orang luar berpandangan rendah terhadap masyarakat adat, karena masyarakat adat merupakan kelompok yang sekarang ini lemah dan terampas hak-haknya, tetapi yang nantinya, ketika di gerakkan dalam gelora revolusi akan mampu mengubah dunia. Itu bukan mustahil terjadi, jika kita yakin dan percaya bahwa kekuatan itu berada di tangan rakyat akar rumput 

Sambutan Sekretaris Jenderal AMAN

Sambutan Sekretaris Jenderal AMAN
Perayaan Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara dan Peringatan Hari Ulang Tahun Ke-9 Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)

Hari ini, sebagai mana juga berlangsung di berbagai pelosok Nusantara, kita merayakan satu hari yang sangat penting bagi Masyarakat Adat Nusantara. Pada tanggal yang sama seperti hari ini 9 tahun yang lalu, para pemimpin pergerakan Masyarakat Adat dari berbagai pelosok Nusantara membulatkan tekad untuk bersatu, bergandengan tangan, menata langkah untuk bangkit bersama melawan penindasan, perampasan hak, eksploitasi, penyingkiran dan pemaksaan nilai-nilai oleh berbagai pihak, para penguasa, pengusaha dan para pelestari alam dan pengawet budaya asli yang berpikiran sempit. Musuh-musuh Masyarakat Adat ini datang dari dalam negeri kita sendiri, bahkan ada di antaranya yang berasal dari Masyarakat Adat itu sendiri, tetapi musuh yang paling besar datang dari negeri-negeri asing.
Pada hari ini pula Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dibentuk sebagai alat untuk mengawal kebangkitan tersebut. Masyarakat Adat Nusantara dengan tegas menolak menjadi korban untuk alasan apa pun, termasuk atas alasan pembangunan. Masyarakat Adat harus kembali bermartabat secara budaya, mandiri secara ekonomi dan berdaulat secara politik.
Bermartabat secara budaya berarti Masyarakat Adat bangga dengan identitas budayanya dan memiliki kepercayaan diri untuk berinteraksi dengan masyarakat lain. Mandiri secara ekonomi berarti Masyarakat Adat tidak tergantung dengan pihak luar untuk memenuhi kecukupan hidupnya dan mengelola sumberdayanya secara berkelanjutan. Berdaulat secara politik berarti Masyarakat Adat menentukan sendiri tujuan hidup dan cara-cara untuk mencapainya sesuai pranata adat yang diwariskan dari leluhur.
Cita-cita ini tidak akan terwujud dengan sendirinya tanpa perjuangan yang terus-menerus dan terorganisir dari Masyarakat Adat. Gerakan ini juga membutuhkan dukungan yang luas dari pihak-pihak lain, bukan hanya dari organisasi-organisasi kemasyarakatan seperti petani, nelayan dan kelompok minoritas, tetapi juga dukungan kebijakan dan program dari Pemerintah.
Perjalanan 9 tahun AMAN telah menunjukkan masih banyak kasus-kasus pelanggaran atas hak-hak Masyarakat Adat yang terjadi di pelosok Nusantara. Perluasan perkebunan kelapa sawit dan serat kayu (HTI) skala besar, operasi pertambangan besar-besaran dan menyebar di seluruh pelosok Nusantara, telah memicu pelanggaran HAM Masyarakat Adat yang masif dan sekaligus menjadi penyebab terancam punahnya hutan adat yang sangat penting bagi keberlanjutan budaya dan keamanan pangan Masyarakat Adat dan juga memberikan sumbangan besar terhadap keseimbangan fungsi ekologis alam, termasuk untuk mitigasi perubahan iklim yang telah menjadi ancaman global.
Atas dasar inilah, kami, Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyampaikan terimakasih kepada Pemerintah Republik Indonesia yang telah mendukung dan menandatangani Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat pada Sidang Umum PBB, 13 September 2007. Dengan menggunakan Deklarasi ini sebagai panduan normatif, kami mengajak Pemerintah untuk mengembangkan pengakuan dan perlindungan hukum yang memadai bagi Masyarakat Adat di Indonesia.
Pada hari yang sangat penting ini, kami secara khusus meminta komitmen Pemerintah untuk menyelamatkan hutan adat dari kepunahan sebagai bagian dari identitas budaya dan menjaga ketahanan pangan bagi Masyarakat Adat, dan sekaligus menjadi sumbangan penting Indonesia dalam penyelamatan hutan alam yang sangat penting untuk mitigasi perubahan iklim global.
Marilah kita rayakan Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara ini untuk melanjutkan perjuangan untuk mewujudkan Masyarakat Adat yang berdaulat, mandiri dan bermartabat.
Selamat dan Sukses untuk Masyarakat Adat dan kita semua.
Jakarta, 17 Maret 2008